REVIEW BUKU CATATAN SEORANG DEMONSTRAN SOE HOK GIE

REVIEW BUKU CATATAN SEORANG DEMONSTRAN

SOE HOK GIE


“… di tengah-tengah pertentangan politik, agama, kepentingan golongan, ia (Soe Hok Gie) tegak berdiri diatas prinsip prikemanusiaan dan keadilan serta jujur dan berani menyampaikan kritik-kritiknya atas dasar prinsip-prinsip itu demi kemajuan bangsa.”
(Harsja W. Bachtiar, Kompas, 26 Desember 1969)

“Dia (Soe Hok Gie) adalah seorang, jujur dan berani. Dan mengerikan, karena ia maju dengan prinsip-prinsipnya tanpa kenal ampun. Maka seringkali ia bentrok karena dianggap tidak taktis.”
(Nugroho Notosusanto, Kompas, 26 Desember 1969)

SINOPSIS BUKU
Buku Catatan Seorang Demonstran adalah buku yang berisikan catatan harian dari Soe Hok Gie. Seorang pemuda dan mahasiswa intelektual Universitas Indonesia Jurusan Sastra. Soe Hok Gie lahir tanggal 17 Desember 1942 ketika perang di Pasifik sedang berkecamuk. Dan meninggal di ketinggian gunung tertinggi di pulau Jawa yaitu Gunung Semeru pada tanggal 16 Desember 1969 bersama rekan mendakinya Idhan Lubis. Soe Hok Gie meninggal sebelum merayakan ulang tahunnya yang ke 27. Kisah Soe Hok Gie begitu inspiratif bagi orang-orang yang mengenalnya juga teman-teman dekatnya. Buku Catatan Seorang Demonstran adalah salah satu cara dari orang-orang terdekatnya untuk kembali mengenangnya dan menceritakan kisah hidup dan perjuangan Soe Hok Gie kepada orang-orang banyak yang berasal dari catatan hariannya.

Kisah Soe Hok Gie juga menjadi inspirasi bagi Mira Lesmana (Produser film) dan Riri Reza (Sutradara film) untuk mengangkat perjalanan dan perjuangan hidup Soe Hok Gie menjadi sebuah film. Dan pada tahun 2005, film berjudul Gie rilis yang dibintangi aktor Nicolas Saputra. Film yang menceritakan kisah hidup Soe Hok Gie dengan referensi yang berasal dari catatan hariannya juga kesaksian langsung dari orang-orang terdekatnya seperti teman-teman kuliahnya yang masih hidup dan keluarga Soe Hok Gie. Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie, adalah orang yang setuju dan memberi izin kepada Mira Lesmana ketika pertama kali mempunyai ide untuk mengangkat kisah Soe Hok Gie menjadi film. Film Gie memberikan visual emosi yang terjadi di era Soe Hok Gie hidup. Sehingga siapapun yang sudah membaca buku Catatan Seorang Demonstran akan lebih lengkap bila menonton juga film Gie yang disutradarai Riri Reza.

Kutipan-kutipan yang sering kita baca dan dengar dari Soe Hok Gie seperti “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan” merupakan kutipan yang diambil dari catatan harian Soe Hok Gie. Kutipan seperti tadi pun sering kita lihat diposter film Gie tahun 2005. Banyak lagi kutipan-kutipan Soe Hok Gie yang diambil berasal dari catatan hariannya yang dibukukan. Dalam buku ini, catatan-catatan harian Soe Hok Gie bisa kita baca dan nikmati hingga sebelum dirinya meninggal dunia. Nuansa remaja, pemuda, mahasiswa, pecinta alam dari pribadi Soe Hok Gie tergambar dalam catatan hariannya. Pergerakannya sebagai seorang mahasiswa yang peduli terhadap keadaan sosial bangsanya juga terekam dalam catatan harian yang ia buat.

Kata pengantar sang kakak, Arief Budiman, dalam buku ini memberi kita ingatan dan refleksi terhadap kisah Soe Hok Gie yang berpulang ke Sang Pencipta dalam usianya yang begitu muda. Seperti dalam buku ini sang kakak bercerita tentang adiknya yang terjaga hingga larut malam di kala semua orang tertidur tapi Soe Hok Gie masih sibuk dengan mesin ketiknya untuk membuat karangan.

“Saya tahu, di mana Soe Hok Gie menulis karangan-karangannya. Di rumah di jalan Kebon Jeruk, di kamar belakang, ada sebuah meja panjang. Penerangan listrik suram, karena voltase yang selalu turun kalau malam hari. Di sana juga banyak nyamuk. Ketika orang-orang lain sudah tidur, seringkali masih terdengar suara mesin tik dari kamar belakang Soe Hok Gie, di kamar yang suram dan banyak nyamuk itu, sendirian, sedang mengetik membuat karangannya.” (Arief Budiman, kakak Soe Hok Gie)

Sang kakak pun bercerita tentang akhir-akhir hidup Soe Hok Gie yang seperti gelisah karena segala upayanya seperti kritik-kritik yang ia buat terhadap kebijakan penguasa serta terhadap keadaan sosial ternyata tidak banyak merubah keadaan bahkan Soe Hok Gie merasa bahwa dirinya justru makin banyak dimusuhi.

“Akhir-akhir ini saya selalu berpikir, apa gunanya semua yang saya lakukan ini. Saya menulis, melakukan kritik kepada banyak orang yang saya anggap tidak benar dan sejenisnya lagi. Makin lama, makin banyak musuh saya dan makin sedikit orang-orang yang mengerti saya. Dan kritik-kritik saya tidak mengubah keadaan.” (Soe Hok Gie)

Buku Catatan Seorang Demonstran yang adalah catatan harian Soe Hok Gie dimulai pada tanggal 4 Maret 1957 dan berakhir pada tulisan catatan 8 Desember 1969. Barangkali dalam kesempatan review ini, saya akan menuliskan kembali kutipan-kutipan Soe Hok Gie yang berasal dari catatan hariannya dan semoga menjadi refleksi yang baik untuk kita semua terlebih generasi muda Indonesia.

“Kalau angkaku ditahan (model guru yang tak tahan kritik) aku akan mengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudku, itu 100 persen tergantung dari dia. Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Aku rasa dalam hal sastra aku lebih pandai. Guru model begituan. Yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.” 
(Soe Hok Gie, Sabtu 8 Februari 1958)

“Seseorang yang berani menyerang koruptor-koruptor lalu ditahan tanpa sebab. Mochtar Lubis ditahan tanpa alasan. Harian Rakyat diberangus karena berani memuat tulisan yang tidak menguntungkan pemerintah. Saya bukan seorang komunis, tapi pemberangusan Harian Rakyat dalah pelanggaran terhadap demokrasi. Dan kita, rakyat sedang dibawa kediktatoran. Kita merayakan hak-hak azasi tetapi merobek-robek hak-hak tadi. Kita memuji demokrasi tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat yang merugikan pemerintah.” 
(Soe Hok Gie, Sabtu 12 Desember 1959)

“Bagiku ada sesuatu yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan: “dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan”. Tanpa itu semua maka kita tidak lebih dari benda. Berbahagialah orang yang masih mempunyai rasa cinta, yang belum kehilangan benda yang paling bernilai itu. Kalau kita telah kehilangan itu maka absurd lah hidup kita.” 
(Soe Hok Gie, Sabtu 16 Desember 1961)

“Seorang filsuf Yunani pernah berkata bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.” 
(Soe Hok Gie, Senin 22 Januari 1962)

“Makin aku belajar sejarah, makin pesemis aku, makin lama makin kritis dan skeptis terhadap apa pun. Tetapi tentu ada suatu motif mengapa aku begini. Memang life for nothing agaknya sudah aku terima sebagai kenyataan. Mungkin ada motif yang menggerakkannya. Barangkali aku punya perasaan untuk berkorban atau merasa sebagai hero dalam ketidak dimengerti.” 
(Soe Hok Gie, Jumat 30 Maret 1962)

“Seorang intelegensia baru bisa merasa makna hidupnya dalam situasi yang pedih. Dari sana ia akan berpikir dan bersikap heroik terhadap sejarah. Zaman atau masyarakat borjuis (dalam hal ini kriteria pemikiran yang penting) tidak akan lebih mendalam pemikirannya selain daripada uang.” 
(Soe Hok Gie, Selasa 12 Juni 1962)

“Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah “the happy selected few” yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya. Dengan long march ini moga-moga mereka sadar bahwa soal tarif bukanlah semata-mata soal tarif an sich, akan tetapi merupakan aspek kecil saja daripada seluruh perjuangan rakyat.” 
(Soe Hok Gie)

“Di Indonesia hanya ada dua pilihan. Menjadi idealis atau apatis. Saya sudah lama memutuskan bahwa saya harus menjadi idealis, sampai batas-batas sejauh-jauhnya. Kadang saya takut apa jadinya saya kalau saya patah-patah. Apatiskah atau anarki. Moga-moga tidak menjadi kedua-duanya.” 
(Soe Hok Gie)

“Dunia ini adalah dunia yang aneh. Dunia yang hijau tapi lucu. Dunia yang kotor tapi indah. Mungkin karena itulah saya telah jatuh cinta dengan kehidupan. Dan saya akan mengisinya, membuat mimpi-mimpi yang indah dan membius diri saya dalam segala-galanya. Semua dengan kesadaran. Setelah itu hati rasanya menjadi lega.” 
(Soe Hok Gie, Jumat 20 Juni 1969)

“Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekah.
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Miraza.
Tapi aku ingin habiskan waktuku di sisimu, sayangku.
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu.
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi.

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang.
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biafra.
Tapi aku ingin mati di sisimu, manisku.
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya.
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu.

Mari sini sayangku.
Kalian yang pernah mesra, yang pernah baik dan simpati padaku.
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung.
Kita tak pernah menanamkan apa-apa, kita tak’kan pernah kehilangan apa-apa.”
(Soe Hok Gie, Selasa 11 November 1969)

“Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin ngobrol-ngobrol pamit sebelum ke Semeru. Dengan Maria, Rina, dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” 
(Soe Hok Gie, Senin 8 Desember 1969)

Pada halaman-halaman terakhir buku Catatan Seorang Demonstran disajikan arsip-arsip jejak Soe Hok Gie seperti tulisan tangannya yang begitu rapih dan foto-foto kenangannya selama hidup. Foto-foto saat Soe Hok Gie berdiskusi dengan teman-temannya juga saat mendaki gunung dengan rekan-rekannya. Soe Hok Gie juga salah satu pendiri dari Mapala (Mahasiswa Pecinta Alam) Universitas Indonesia. Kegiatan naik gunung merupakan salah satu upaya Soe Hok Gie mencari ketenangan dan mengenal rakyat Indonesia lebih dekat. Dalam mendaki, Soe Hok Gie juga menyempatkan membuat puisi untuk mengungkapkan batin dan pikirannya. Lampiran terakhir dalam buku Catatan Seorang Demonstran berisi ulasan dari beberapa Pers Indonesia seperti Tempo, Kompas, Fokus, Optimis, Hai, Sinar Harapan. Karena Soe Hok Gie merupakan penulis untuk beberapa media cetak di zamannya dan cukup mempunyai koneksi bahkan berteman dengan orang-orang media cetak tersebut. Nama-nama seperti Aristides Katoppo, Rahman Tolleng, Jacob Oetama adalah rekan-rekan Soe Hok Gie saat masih hidup.

REVIEW BUKU
Buku Catatan Seorang Demonstran adalah refleksi untuk kita yang membacanya. Meskipun ini adalah catatan harian Soe Hok Gie. Namun dengan catatan hariannya tersebut, kita sebagai pembacanya bisa merasakan pengalaman hidup seorang pemuda dan mahasiswa intelektual yang pernah lahir di Bumi Indonesia. Dari catatan-catatannya yang dibukukan ini, kita digambarkan suasana era tahun 50-60 Indonesia. Era yang tidak mudah bagi Indonesia pasca kemerdekaannya. Suasana politik yang sering bertegangan silih berganti, keadaan rakyat yang masih menderita dan kemiskinan dimana-mana, upaya pemberontakan terhadap pemerintah dari berbagai golongan terjadi. Soe Hok Gie mencatat semua peristiwa tersebut dalam dinamika hidupnya. Pribadinya sebagai mahasiswa dan aktivis pencinta alam ditulis dalam catatan hariannya. Kita bisa mendapat gambaran kehidupan mahasiswa era Soe Hok Gie hidup dengan segala keresahan dan permasalahannya.

Perjalanannya ke luar negeri turut ditulisnya dalam catatan harian tersebut. Kita bisa melihat seorang pemuda yang begitu langka sekarang-sekarang ini seperti Soe Hok Gie. Mungkin tidak ada yang seperti Soe Hok Gie. Keberaniannya, intelektualitasnya, rasa empati dan simpatinya kepada kehidupan sosial yang tinggi, cara bergaulnya yang unik dan membuat iri generasi sekarang seperti berdiskusi, bertukar pendapat, menonton film bersama-sama teman, dan mendaki gunung. Kita hanya bisa belajar dari Soe Hok Gie dari nilai-nilai yang diperjuangkannya. Nilai-nilai kemanusiaan, cinta kepada alam, serta peduli dengan masyarakat “kecil”. Soe Hok Gie mengajarkan itu semua kepada kita yang hanya bisa membaca catatan hariannya dan cuplikan-cuplikan video yang mewawancarai dirinya semasa masih hidup. Foto-foto dirinya ketika “berpetualang” bersama teman-temannya dahulu menjadi arsip berharga untuk mengenal Soe Hok Gie secara visual. Serta kenangan-kenangan yang diceritakan sahabat dan teman-temannya semasa hidupnya membuat merinding yang mendengar perjuangan Soe Hok Gie. Pemuda yang cerdas, penuh wawasan, open minded, sangat peduli dengan sesama, cintanya kepada bangsa dan negaranya yang sangat tinggi, penyuka binatang dan pencinta alam ini harus meninggal begitu muda di puncak tertinggi pulau Jawa yaitu gunung Semeru. “Orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur” begitulah kutipan yang pernah ditulis Soe Hok Gie. Ia meninggal dengan begitu tenang seperti keinginannya dalam mendaki gunung yaitu mencari ketenangan. “Dan berbahagialah mereka yang mati muda” Soe Hok Gie pernah menulisnya dalam catatan hariannya kutipan tersebut dan mungkin saja Soe Hok Gie juga berbahagia di sana sekarang bersama sang pencipta.

Makhluk kecil kembalilah
Dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu
(Soe Hok Gie, 22 Januari 1962)

DETAIL BUKU

Judul Buku: Catatan Seorang Demonstran
Penulis: Soe Hok Gie
Penyunting: Ismid Hadad, Fuad Hashem, Aswab Mahasin, Ismet Nasir, dan Daniel Dhakidae
Penerbit: LP3ES
ISBN: 978-979-3330-33-3


THANK YOU

Komentar

POSTINGAN POPULER

MENGOBATI IKAN MAS KOKI YANG TERKENA PENYAKIT BERCAK MERAH DI BADAN

LEBIH MENGENAL INFJ

INFJ DOORSLAM

KISAH RONALD READ DAN RICHARD FUSCONE

PERBEDAAN POIN KOMPETITIF DAN POIN KOMPETITIF LANJUTAN PADA FC MOBILE

CARA MENINGKATKAN OVER PEMAIN DAN MELATIH PEMAIN DALAM GAME FC MOBILE

REVIEW BUKU QUIET IMPACT TAK MASALAH JADI ORANG INTROVER

DARI AQUASCAPE KE AQUARIUM IKAN MAS KOKI

REVIEW BUKU BREAKING THE HABIT OF BEING YOURSELF