REVIEW BUKU DI BAWAH LENTERA MERAH “SOE HOK GIE”

REVIEW BUKU DI BAWAH LENTERA MERAH “SOE HOK GIE”

(Riwayat Sarekat Islam Semarang 1917-1920)

SINOPSIS BUKU
Di Bawah Lentera Merah adalah skripsi dari Soe Hok Gie yang di bukukan. Skripsi yang dibuat sang aktivis mahasiswa tersebut untuk menempuh ujian sarjana muda di jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia. Menjadikan isi buku ini sarat akan Metodologi Penelitian layaknya mahasiswa membuat skripsi seperti sekarang. Pada awal buku dibuka dengan ucapan terima kasih penulis yaitu Soe Hok Gie kepada semua pihak yang membantu proses tulisan skripsinya tersebut. Memasuki bagian pendahuluan pada buku Di Bawah Lentera Merah, tulisan berisi fenomena yang diambil Soe Hok Gie sebagai bahan penelitiannya seperti perkembangan komunisme di Indonesia sebelum tahun 1926. Sebab-sebab pemberontakan 1926 yang menjadi objek kajian Soe Hok Gie. Latar belakang terbentuknya pergerakan komunisme di Indonesia dengan kajian mulai dari kaum “Marxis” di Indonesia.

Di Bawah Lentera Merah hanyalah sebuah usaha kecil yang mencoba melihat salah satu bentuk gerakan rakyat Indonesia pada awal abad ke-20. Untuk membatasi persoalan, saya memilih pergerakan Sarekat Islam di Semarang, pada masa tahun 1917-1920. Mengapa dimulai dengan tahun 1917, karena mulai tahun itu tendensi-tendensi sosialistik mulai jelas, sedangkan batas Mei 1920, adalah bulan didirikannya Partai Komunis Indonesia. (Soe Hoe Gie: 5). Soe Hok Gie memaparkan sumber-sumber referensi skripsinya mulai dari surat-surat kabar, buku-buku, koran-koran dan wawancara langsung dengan tokoh-tokoh Sarekat Islam Semarang seperti Semaoen dan Darsono.

Di bagian latar belakang sosial skripsi, dimulai dengan perubahan pengurus di dalam Sarekat Islam Semarang, dimana Semaoen muncul sebagai presiden organisasi. Pergantian pengurus tersebut merupakan wujud pertama perubahan Gerakan Sarekat Islam Semarang, dari Gerakan kaum menengah menjadi Gerakan kaum buruh dan tani. Perubahan yang terjadi saat itu sangat penting artinya bagi sejarah modern Indonesia karena dari sini kemudian lahir Gerakan kaum Marxis pertama di Indonesia. Dalam latar belakang sosial, Soe Hok Gie menjelaskan fenomena atas kebijakan pemerintah Hindia Belanda di bidang agraria yang menyengsarakan penderitaan rakyat pada saat itu. Pengalihan lahan kebun milik petani kepada pemerintah Hindia Belanda dengan sistem sewa paksa membuat petani menjadi hanya sekedar pekerja untuk pemerintah Hindia Belanda. Lahan perkebunan menjadi monopoli pemerintah Hindia Belanda sehingga rakyat baik dari buruh dan petani seperti budak. Hanya mendapatkan sangat sedikit upah dengan pekerjaan yang berat. Perluasan produksi di bidang tebu meningkat di tahun 1916-1920. Tetapi penderitaan rakyat justru semakin menjadi-jadi. Persoalan agraria ini yang kemudian mempengaruhi iklim pergerakan Sarekat Islam Semarang. Kenyataan-kenyataan sosial yang mereka lihat, dengar, dan alami, telah menggugah perasaan para tokoh organisasi itu. Ketidakpuasan umum, ketidakpercayaan terhadap niat pemerintah, dan sebagainya, akhirnya membuat Sarekat Islam Semarang lebih revolusioner.

Menuju bab tiga, ketokohan Semaoen dalam Sarekat Islam Semarang mulai dipaparkan penulis. Semaoen berhasil membawa gerakan dan mempengaruhi para anggota organisasi kearah sosialis-revolusioner. Keadaan masa itu yang kental akan perlakuan pemerintah Hindia Belanda mengeksploitasi penduduk pribumi dengan penderitaan kerja berat dan upah yang minimal membuat para tokoh-tokoh pergerakan pada saat itu geram. Begitu pun Sarekat Islam Semarang melalui tulisan surat kabar harian membuat berita-berita terkait perlakuan kejam pemerintah untuk disebarkan ke seluruh daerah-daerah namun ini menjadi hal yang tidak disukai oleh pemerintah. Kelaparan mulai berlangsung dimana-mana, rakyat semakin menderita, wabah penyakit pers menghantui karena kehidupan rakyat yang buruk mulai dari tempat tinggal yang kotor dan gizi yang tidak tercukupi. Untuk menghadapi hal demikian Sarekat Islam Semarang beberapa kali membuat kongres demi mengambil langkah untuk menolong kegetiran rakyat masa itu dengan penderitaan yang menjadi-jadi. Langkah-langkah revolusioner yang mampu merubah tatanan peraturan dan kesewenang-wenangan pemerintah kepada rakyat.

Bab empat, menyaksikan penderitaan rakyat atas kesewenang-wenangan pemerintah Hindia Belanda, Sarekat Islam Semarang semakin berusaha menekan pemerintah dengan aksi-aksi penolakan kebijakan, mobilisasi pemogokan kaum kerja buruh dan tani sehingga membuat pemerintah menjadi kesal. Pemerintah menganggap organisasi pergerakan seperti pemberontak yang harus ditangani karena bila tidak akan menjadi boomerang bagi pemerintah dalam menggambil keuntungan eksploitasi. Salah satu cara yang dilakukan adalah mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap tokoh-tokoh sosialis-revolusioner. Seperti Darsono yang sejak September 1918 di keram di penjara Surabaya karena dituduh menyiarkan hal-hal yang berisi pernyataan kebencian terhadap pemerintah. Semaoen dituntut karena menerjemahkan tulisan Sneevliet. Padahal, pemuatannya di luar tanggung jawabnya karena tegas-tegas sudah ditulis di luar tanggung jawab redaksi. Upaya pemberontakan kaum revolusioner semakin menjadi-jadi karena kesewenang-wenangan pemerintah. Begitu pun sebaliknya upaya membungkam kaum pergerakan pun semakin gencar dilakukan pemerintah dengan menangkap tokoh-tokoh pergerakan.

Bab lima sekedar catatan, sejak abad ke-16, di jawa tumbuh tiga akar kekuatan yang akan menjadi sendi-sendi kekuatan masyarakat pada kemudian hari. Kelompok pertama adalah “kaum priyayi” dan merupakan kelompok yang berkuasa. Kelompok kedua yaitu “kaum santri”. Kelompok ketiga adalah masyarakat pedesaan Jawa yang mendukung nilai-nilai kebudayaan zaman pra-Hindu walaupun unsur-unsur Hindu dan Islam juga ditemui. Pertentangan antara kaum santri dan kaum priyayi terus berlangsung setelah kedatangan Belanda. Dengan sendirinya kaum santri merupakan sumber kekuatan untuk melawan kaum kafir (Belanda) dan priyayi. (Soe Hok Gie: 72)

Abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa perubahan-perubahan penting bagi masyarakat Jawa sebagai akibat penggunaan teknologi modern dan pendidikan. Pada masa itu muncul organisasi-organisasi “modern”, dengan anggaran dasar, kongres, dan sebagainya. Manusia tidak pernah bisa melepaskan diri dari keadaan di sekelilingnya, dari mana ia hidup dan dibesarkan oleh bumi serta dari mana ia berakar. Nilai-nilai yang didukung oleh lingkungannya, nilai yang dihayatinya sejak kecil, selalu membekas dalam pikiran dan pandangan-pandangannya. Demikian pula pandangan tokoh-tokoh yang menganut sosialisme. Mereka sedikit banyak dipengaruhi oleh pandangan kebudayaan lama, entah Islam, kejawen, atau lainnya. Perjuangan melawan suatu kekuatan, suatu penindasan, ataupun mempertahankan cita-cita, selalu mencoba mengidentifikasikannya pada bentuk-bentuk perjuangan kebudayaan yang lebih lama atau tua. (Soe Hok Gie: 73-74)

Di dalam perjuangan yang menarik ini ada pula suatu ciri yang menarik. Kebanyakan tokoh sosialis Semarang meninggalkan Partai Komunis walaupun mereka memihak “yang terhina dan yang lapar” sampai hari tuanya. Darsono dan Semaoen keluar dari PKI. Sneevliet, walaupun sampai detik terakhir hidupnya di tonggak penembakan algojo Hitler, tetap menjadi seorang pembela kaum tertindas secara konsekuen. Baars pun ingkar terhadap komunisme setelah ia melihat sendiri praktik-praktik Stalin. Terlepas dari apa yang telah mereka perbuat, perjuangan Sarekat Islam Semarang di bawah Semaoen merupakan lembaran-lembaran yang paling indah dan agung dalam sejarah Indonesia, sejarah Asia, dan sejarah dunia.

REVIEW BUKU

Meskipun bersumber dari skripsi Soe Hok Gie, Dibawah Lentera Merah adalah buku yang cukup detail menggambarkan suasana awal pergerakan kaum revolusioner untuk melawan penjajahan. Suasana penderitaan rakyat terhadap kesewenangan pemerintah pada saat itu digambarkan Soe Hok Gie dengan data-data sekunder yang berasal dari koran-koran atau surat kabar. Kelaparan, pengalihan lahan rakyat, upah yang minim, ketidaklayakan rumah tinggal, wabah penyakit menjadi bagian penggambaran masa lalu yang sangat menderita. Sumber primer dengan mewawancarai tokoh seperti Semaoen dan Darsono oleh Hok Gie, menambah kedetailan alur peristiwa dalam organisasi Sarekat Islam Semarang dengan perkembangannya terhadap pergerakan melawan penindasan pemerintah. Membaca buku ini adalah refleksi bagus bagi generasi muda bahwasanya para tokoh pergerakan terdahulu berjuang dengan nuraninya dan pikirannya untuk melawan ketidakadilan dan penindasan oleh penguasa. Hal yang tidak mudah karena selalu ada tekanan dan intimidasi dari pihak penguasa yang tidak senang dengan pergerakan tersebut. Para tokoh tersebut tidak mencari apa-apa selain berjuang untuk rakyat. Bukan demi uang, kekayaan, bahkan jabatan. Apa yang mereka lihat , rasakan, dan alami di sekelilingnya membuat hati mereka tergerak untuk berupaya berjuang melawan penindasan dan kesewenangan kaum penguasa. Soe Hok Gie mampu mendeskripsikan sangat baik kejadian sejarah melalui skripsinya tentunya dengan Metodologi Penelitian yang baik juga.

DETAIL BUKU
Judul Buku: Di Bawah Lentera Merah
Penulis: Soe Hok Gie
Penerbit: PT Bentang Pustaka
Perancang Sampul: Andreas Kusumahadi
Pemeriksa Aksara: Iyan Wb.
Penata Aksara: Iyan Wb.
ISBN: 979-3062-61-4

THANK YOU…

Komentar

POSTINGAN POPULER

MENGOBATI IKAN MAS KOKI YANG TERKENA PENYAKIT BERCAK MERAH DI BADAN

LEBIH MENGENAL INFJ

INFJ DOORSLAM

KISAH RONALD READ DAN RICHARD FUSCONE

REVIEW BUKU QUIET IMPACT TAK MASALAH JADI ORANG INTROVER

REVIEW BUKU BREAKING THE HABIT OF BEING YOURSELF

CARA MENINGKATKAN OVER PEMAIN DAN MELATIH PEMAIN DALAM GAME FC MOBILE

PERBEDAAN POIN KOMPETITIF DAN POIN KOMPETITIF LANJUTAN PADA FC MOBILE

REVIEW BUKU CATATAN SEORANG DEMONSTRAN SOE HOK GIE

KATA-KATA BIJAK GANDALF DALAM FILM THE LORD OF THE RING