PROFIL SOE HOK GIE
Tepat 25 tahun lalu, 16 Desember 1969, di tengah kencangnya angin di ketinggian hampir 3.676 meter dpl puncak Mahameru, seorang tokoh mahasiswa gugur. Soe Hok Gie namanya. Ia gugur bersama seorang anggota Mapala UI lainnya, Dhanvantri Lubis, gara-gara terjebak gas beracun. Ia gugur hanya sehari sebelum hari ulang tahunnya.
Hok Gie meninggal di tengah berbagai kegelisahan. Ia menghadapi kenyataan, bekas teman mahasiswanya telah melupakan perjuangan sebelumnya. Sebagai tokoh Angkatan ’66 lebih memburu hal-hal yang berbau keduniawian ketimbang memikirkan perbaikan pasca-perubahan. Mantan aktivis mahasiswa yang duduk dalam DPR-GR malah berebut mendapatkan kredit-kredit mobil Holden, mobil mewah saat itu.
Perjalanannya ke puncak Semeru merupakan bagian dari upaya meluapkan kegundahannya pada republik yang dicintainya. Sebelum berangkat, Hok Gie sempat mengirimkan perlengkapan make up kepada sejumlah wakil mahasiswa di DPR-GR. “Semoga anda tampil manis di mata pemerintah,” pesannya kepada teman-teman seperjuangannya dulu. Sayang, Hok Gie keburu pergi untuk selama-lamanya.
Sahabat-sahabat Hok Gie mengenangnya sebagai seorang yang tajam pikirannya, rajin membaca, tekun menguji sendiri pengetahuannya yang diperoleh kepada kenyataan kehidupan di tengah rakyat. “Dalam hampir setiap hal atau masalah, ia merupakan batu penguji yang kokoh untuk sikap yang berani dan independent, hati bersih dan pikiran yang murni,” tulis Adnan Buyung Nasution. Memang, secara esensi, pada dasarnya pria bertubuh kecil ini adalah seorang modernisator yang populis.
Bibit-Bibit Pemberontakan
Sok Hok Gie lahir 17 Desember 1942. Ia adalah putera keempat dari keluarga penulis produktif. Soe lie Piet alias Salam Sustrawan. Usia 5 tahun, adik Arif Budiman ini masuk sekolah Sin Hwa School, sekolah khusus untuk keturunan Cina. Lulus SD, ia meneruskan ke SMP Strada dan kemudian di SMA Kanisius, Jakarta. Masa kecilnya tentu saja tak luput diwarnai dengan baku hantam dan kenakalan sejenisnya. Ia pu kadang bolos sekolah agar bisa keluyuran ke perpustakaan seperti British Council atau pergi ke toko buku. Sejak muda Hok Gie juga telah memperlihatkan ketidaksenangan atas segala bentuk ketidakadilan. Saat di hukum guru ilmu buminya, ia menulis catatan hariannya,”Dendam yang disimpan, lalu turun ke hati, mengeras bagai batu. Biar di hukum, aku tak pernah jatuh dalam ulangan.” Wajar saja bila ia sewot berat. Nilai yang seharunya 8 dipotong hingga tinggal 5. Padahal menurutnya, dia adalah murid terpandai di bidang itu.
Lelaki yang tak pernah berpakaian necis ini dikenal sebagai murid yang “cerewet”. Kalau sang guru salah, ia tak sungkan mendebat. Meski kena makian, Hok Gie tak peduli.
Suatu saat, ia berdebat dengan sang guru. Sang guru pun marah. Namun kata Hok Gie,”Aku sebetulnya tak menganggap perang, hanya bertukar pikiran saja… kalau angkaku ditahan-model guru tak tahan kritik-aku akan mengadakan koreksi habis-habisan. Sedikit kesalahan akan kutonjolkan. Sebetulnya tak sedemikian maksudnya… Aku tak mau minta maaf. Memang demikian kalau dia bukan guru yang pandai. Tentang karangan saja dia lupa. Guru model gituan, yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukan dewa dan selalu benar. Dan murid bukan kerbau.”
Pengalaman”nyaris” tidak naik kelas tatkala SMP dijadikannya sebuah pelajaran berharga. Hok Gie bukan hanya tak pernah lagi tidak naik kelas, tapi ias selalu meraih nilai di atas rata-rata.
Menulis dan Pelihara Binatang
Hok Gie tak cuma lapar bacaan, ia juga getol menulis. Tak hanya puisi yang ia gubah, buku harian pun penuh dengan goresan rajin tintanya. Jarang ia alpa merekam kesehariannya. Di buku itu, Hok Gie bicara tentang intisari buku-buku yang dicernanya, perdebatan dengan teman-teman, kegiatan sehari-hari, hingga kisah kasihnya. Tak Cuma itu, urusan bolpoin hilang pun ikut ditulisnya.
Setelah catatan harian, pria ini juga rajin menulis surat kepada teman-teman akrabnya. Isinya tentang keresahan pikiran-pikirannya atau sekedar banyolan. Ngalor-ngidul tak karuan. Melalui surat, ia berkomunikasi dan mendiskusikan keadaan dan lingkungan sekitarnya dengan orang lain.
Keisengannya pun lumayan tersalur lewat surat-surat kepada sahabat. Pernah suatu saat ia menggambarkan telapak kakinya di sebuah surat, sembari ditulisnya,”coba lu cium kaki gue.”
Ternyata dia penggemar binatang juga. Tulisnya, “Ikan-ikanku yang terlahir mati sebab ibu membiarkan kaporit bocor ke kamar mandi, dua ekor. Si jago pulang berkelahi. Luka parah. Hampir-hampir mati. Dua hari tak makan.” Atau,”Aku baru saja mengantarkan seekor anjing kecil yang lucu dan simpatik sekali. Sudah lima hari diam di rumah. Ya, akhirnya terpaksa diantar ke PBB (Perhimpunan Penyayang Binatang). Sangat tidak enak rasanya. Lagipula seolah-olah anjing itu tidak mau. Baru berontak, lalu gemetar di becak dan ketika kutinggalkan, kepalanya ke luar, sangat sayang. Kadang-kadang aku mengidentifikasi diriku dengan anjing itu. Berjalan ke tempat eksekusi. Entah bagaimana rasanya.”
Kebiasaan surat-menyurat semenjak di sekolah menengah berlanjut hingga ia menjadi dosen UI. Namun, isinya hampir berubah total. Mulai awal 1966, hampir semua surat Hok Gie lebih mirip diskusi masalah politik kebangsaan. Kepada dua sahabatnya, Thung dan Boediono, Hok Gie menumpahkan semua perasaannya. Terutama yang menyangkut pengkhianatan intelektual para pejuang Orde Baru. Selain itu, ia juga menuliskan pikirannya di koran-koran.
Sebuah Kesadaran Politik
Bopeng-bopeng kehidupan politik mulai mengusik pada masa remaja. Hok Gie memberikan uangnya yang tinggal Rp 2,50 kepada seseorang yang sedang makan kulit mangga. Perasaannya begitu gundah. “Ya, dua kilometer dari pemakan kulit mangga, “paduka”kita mungkin lagi tawa-tawa, makan-makan dengan istri-istrinya yang cantik-cantik. Aku besertamu orang-orang malang.”
Pikiran-pikiran tentang politik mulai tumbuh dan berkembang dalam diri Hok Gie. Bahkan mewarnai seluruh hidup pria yang percaya bahwa, hakikat kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dan dapat merasai kedukaan itu.
Lulus dari SMA Kanisius, Jakarta, Soe Hok Gie meneruskan ke Universitas Indonesia, jurusan Sejarah. Namun setelah melewati masa perpeloncoan, pelahap buku-buku berat ini kecewa. Keluhnya “Anak sastra Jerman tidak tahu karangan Goethe, jangankan puisi-puisi Holderius atau Thomas Mann. Seorang anak sastra sunda bahkan berkata: Dari Ave Maria ke jalan lain ke Roma adalah karangan Goethe. Orang-orang boleh ketawa deh.”
Maklum saja, Hok Gie selalu disibukkan dengan pikiran-pikirannya. Penggemar lagu Blowing in The Wind ini butuh teman diskusi yang setara. Maklum, ia adalah pelahap buku-buku sastra, filsafat, dan politik. Buku-buku itu menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan dan perdebatan dalam dirinya. Ikut memperkaya dan mematangkan pribadi pria berperawakan kecil ini. Tak heran bila ia selalu resah. Seperti pengakuannya, “…I’II always be gelisah, and unable to live in peace.
Memasuki Dunia Aktivis
Dunia mahasiswa kian menyuburkan kegiatan berpikirnya. Diskusi menjadi makanan sehari-hari. Ia pun aktif terlibat dalam organisasi. Ia juga aktif di Gerakan Mahasiswa Sosialis (GMSOS), tempat di mana ia sering bertukar pikiran dengan beberapa tokoh terkemuka yang kemudian hari membantu Presiden Soeharto.
Ketika keadaan ekonomi Indonesia kian amburadul, Soe Hok Gie pun bagai cacing kepanasan. Resah, catatnya, “Kalau rakyat Indonesia terlalu melarat, maka secara natural mereka bergerak sendiri. Dan kalau ini terjadi maka akan terjadi chaos. Lebih baik mahasiswa yang bergerak.” Tak pelak, lahirlah sang demonstran.
Tiada hari tanpa demonstrasi bagi Soe Hok Gie. Rapat sana sini, menggalang demonstrasi ke sana kemari. Mengadakan protes kepada pemerintah akan situasi Ekonomi yang menukik tajam. “Aku the happy selected few yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya…dan kepada rakyat aku ingin tunjukkan bahwa mereka dapat mengharapkan perbaikan-perbaikan dari keadaan dengan menyatukan diri di bawah pimpinan patriot-patriot universitas.
Pada 1966, ketika mahasiswa banjir ke jalan dengan aksi Tritura nya, Hok Gie termasuk dalam barisan paling depan. Kabarnya, ia adalah salah satu tokoh kunci dari terjadinya aliansi mahasiswa ABRI pada 1966.
Buku, Pesta, dan Cinta
Seperti layaknya orang muda, hidup penggemar film ini pun tak hanya bekisar soal buku, diskusi dan politik. Soal asmara pu tak terelakkan. Dia acap berdiskusi tentang arti cinta, seks, dan sejenisnya.. “Dalam dunia perjuangan mahasiswa, rata-rata disadari bahwa wanita atau pacar sering jadi hambatan… walaupun secara jujur kita harus akui kadang-kadang kita tertarik pada rekan kita. Dan biasanya kita menekan peraaan ini… the tragic life?” Apa boleh buat, yang namanya mencari pasangan ideal tak semudah membeli baju, sudah pasti, langka.
Hok Gie megaku, “Mungkin kita tak pernah cross path dengan wanita seperti itu. “ Maksudnya, wanita yang mau mengerti perjuangannya, tak mengikatnya sehingga ia tetap bebas bergerak dinamis. Lenih lanjut dengan kata-katanya tentang wanita. Begitu getir dan sinis. “Biasanya wanita itu hanyalah jadi laba-laba betina terhadap suaminya.”Sebuah generalisasi yang kelam.
Hok Gie selalu saja berurusan dengan wanita-wanita yang maju-mundur. Yang bimbang tak mampu mengambil keputusan bagi dirinya sendiri. Memang, soal cinta bukan matematika. Hati dan otak tak selalu selaras sejalan.
Toh, Hok Gie berusaha mengerti sikap maju-mundur pacarnya. “Aku ingin memperlakukanmu sebagai wanita dewasa.”Ternyata, seorang pacarnya yang sering disebut sebagai the poor little woman ini memilih tak memilihnya. Padahal saat diwawancarai televisi ABC, Australia,”Apakah menurut anda, orangtua anda tak melarang saat anda ingin menikahi Soe karena dia terlibat dalam banyak kehidupan politik?”Jawabnya,”Tidak, if I love him.” Nyatanya? Tak seindah yang dinyatakannya. Hoek Gie sadar bahwa hubungan itu tak punya masa depan. Ia hanya bisa berharap,”Suatu hari nanti dia kan tumbuh menjadi seorang wanita matang dan berani, menghadapi semua tantangan dan menikmati kehidupan yang menakjubkan.” Dua kali ia pacaran dan gagal dengan alasan yang sama. Ditolak keluarga sang pacar. Meski bisa menerima, toh, ada kalanya Hok Gie hilang kesabaran. Ia pernah bilang kepada sang pacar,”Hidupmu sudah jelas. Kau akan kawin dengan seorang kaya. Dan dalam lingkungan ini kau akan hidup dalam dunia sempit, penakut dan tertekan. Lalu kau akan jadi tante-tante. Persoalan dunia menjadi soal gossip. Padahal hidup jauh lebih menarik.”Barangkali saya harus belajar jatuh cinta dengan kesepian,”keluhnya. Apa boleh buat, it takes two do the tango.
Komitmen Politik dan Surat Kaleng
Dunia politik yang dimasuki Hok Gie menimbulkan banyak sandungan. Bukan hanya dalam urusan cinta saja ia harus gagal, tapi juga harus menghadapi berbagai intimidasi dan teror.
Suatu kali Hok Gie mendapat surat kaleng dari seseorang yang mengakui diri sebagai pecinta Bung Karno. Rupa-rupanya, si pengirim surat kaleng tersebut marah dengan kritik-kritik dalam tulisan Hok Gie di Mingguan Mahasiswa Indonesia. Si pengirim surat memaki-maki Hok Gie dengan kata-kata: pencopet, babi, coro, tekek dan kata-kata kotor lainnya. “Cina tak tahu diri, sebaiknya kamu pulang saja ke negerimu.”
Bukan Cuma itu, si pengirim surat mengancam akan membuat cacat seumur hidup. “Nasibmu akan ditentukan pada suatu ketika. Kau sekarang sudah mulai dibuntuti. Saya nasihatkan jangan pergi sendirian atau malam hari,”ancam si pembuat surat kaleng.
Hok Gie menghadapi semua intimidasi dan ancaman dengan tenang-tenang saja. Ibunya gundah dan sempat mengingatkannya,”Gie, untuk apa semuanya ini. Kamu hanya mencari musuh saja, tidak mendapatkan uang.” Hok Gie hanya tersenyum dan berkata,”Ah. Mama tidak mengerti.”
Begitulah cara Hok Gie menjawab berbagai tekanan terhadap dirinya. Dengan sebuah senyuman.
Lelah dan Jenuh
Hok Gie adalah manusia biasa yang kadang juga mengalami rasa lelah, stagnan dan kadang bingung. Dalam beberapa kesempatan, kepada kawan-kawannya Hok Gie selalu mengaku bingung. Baginya masa depan adalah sebuah hal yang misterius. “Saya tah tahu masa depan saya. Sebagai orang yang berhasil? Sebagai orang yang gagal terhadap cita-cita idealisme? Lalu tenggelam dalam waktu dan usia? Sebagai orang yang kecewa dan lalu mencoba meneror dunia? Atau sebagai seorang yang gagal tetapi dengan penuh rasa bangga tetap memandang matahari yang terbit? Saya ingin mencoba mencintai semua. Dan bertahan dalam hidup ini.
Pernah suatu kali Hok Gie ditawari posisi si sebuah media massa. Jawaban Hok Gie, sebagaimana ditulis dalam sebuah surat untuk sahabatnya, sudah jelas, “Gue engak mau, gue mau tetap jadi orang bebas dan tetap jadi cross boy. Enak deh.” Cita-cita Gie memang jadi manusia bebas.
Tanggal 13 Mei 19609, Hok Gie lulus ujian sarjana, Skripsi yang ditulisnya membahas tentang sikap paradoksal manusia dalam sejarah yang berjudul Mereka yang berada di Persimpangan jalan. Menjadi sarjana tak membuat Hok Gie tenang. Justru makin gelisah. “Setelah lulus saya justru merasakan adanya jarak dengan dunia saya yang lama dan amat saya cintai, dunia mahasiswa.”
Secara emosional, Hok Gie mengaku sulit menyesuaikan diri dengan situasi baru sebagai seorang dosen. Kepada seorang kawan karibnya, Hok Gie menumpahkan kegundahannya, “Gue sekarang telah selesai dan kerja di FSUI. Rasanya gue engga punya tujuan hidup. Gue dapat kamar kerja, dapat meja dan dapat jabatan. Jadi birokrat perguruan tinggi. Rasany aneh sekali…”jadi bapak dosen yang terhormat”. Kursi tempat gue duduk rasanya ada pakunya. Hidup gue jadi rutin, tidak menarik.”
Pasca mahasiswa bagi Hok Gie adalah masa yang paling tidak menarik. Untungnya ia punya sejumlah kolega mahasiswa dan sahabat yang mau mengerti.
Gunung Bukan Pelarian
Semenjak mahasiswa Hok Gie telah mulai mencintai gunung. Bersama kawan-kawannya ia mendirikan organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala) UI. Kegiatan Mapala adalah tempat Hok Gie melantunkan lagu-lagu pembebasan ala Joan Baez dan Bob Dylan. Hingga kini Mapala UI menjadi organisasi mahasiswa di bidang pendakian gunung yang terkemuka di Indonesia.
Dengan perlengkapan yang bisa dibilang masih sederhana, gunung demi gunung di daerah Jawa Barat didakinya. Pada tahun 1967, ia mulai mencoba mendaki gunung tertingi di Jawa Tengah, Gunung Slamet.
Bagi Hok Gie, gunung bukan sekedar Pelepas stress. Tapi, gunung adalah tempat untuk menguji kepribadian dan keteguhan hati seseorang. Di tempat yang jauh dari semua fasilitas dan penuh dengan kesulitan orang yang mengalami ujian, apakah dia seorang yang selfish atau orang yang mau memikirkan orang lain. Perjalanan menuju puncak gunung adalah sebuah sarana interaksi dengan masyarakat yang sangat baik.
“Kami tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hiprokasi dan slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung,”jelas Hok Gie kepada beberapa pengusaha yang membantunya saat akan mendaki Gunung Slamet.
Gunung bukan merupakan tempat pelarian bagi Hok Gie, tapi adalah tempat belajar. “Hanya di puncak gunung aku merasa bersih,”ujar Hok Gie kepada seorang kawannya. Sebagai seorang yang terlanjur jatuh cinta pada gunung, Hok Gie bercita-cita suatu saat bisa mencapai gunung tertinggi di Jawa yaitu Gunung Semeru.
Lewat sejumlah persiapan yang cukup panjang, pada Desember 1969, Hok Gie bersama kawan-kawannya berangkat menuju puncak Semeru lewat kawasan Tengger. Ia meninggalkan catatan terakhir dalam buku hariannya.” Saya punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian.” Tapi Hok Gie tetap berkeinginan bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-27 di atas atap tertinggi Pulau Jawa tersebut.
Itulah sepucuk puisi kesayangan Hok Gie. Puisi filsuf Yunani itu mengusik kalbu serta membayangi langkahnya. Bayang kematian. Hok Gie pernah menulis surat kepada kawannya, Riandi,”Jangan ditanyakan…,mereka pasti akan senang sekali kalau saya mati karena jatuh dari puncak gunung.”
Bagi Hok Gie, hidup ibarat sebuah perjalanan. Ia bersyukur bisa berkesempatan menikmati sebuah perjalanan yang penuh warna dan sarat makna. Seperti tulisannya dalam sebuah surat, “Sebelum saya mati, saya masih dapat berkata ya, saya telah hidup dan meresapi panas dan hujan.”
Hok Gie akhirnya memang tewas terkena gas beracun di Puncak Semeru. Sebelumnya ia telah berujar, “Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan yang kasar dan keras untuk seminggu kira-kira. Diusap oleh angin dingin yang seperti pisau atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil. Dekat dan menyatu dengan alam.” Cita-cita Hok Gie untuk mati di tengah alam betul-betul kesampaian. Ia pernah mengatakan,”Orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”Namun, ia mungkin tak pernah menduga bahwa kepergiannya merepotkan teman-teman se-Mapalanya. Tapi, barangkali ia memang pergi dengan bahagia, seperti ucap sepenggal puisi itu. “Berbahagialah mereka yang mati muda.”
Sumber Tulisan :
Biodata tentang Pribadi yang Paradoksal (Jakarta Jakarta, Nomer 441-1994).
Komentar
Posting Komentar